Jumat, 24 Juli 2015

KITA (END)

'Bisa kita bertemu?'. Tanyanya padaku waktu itu via media komunikasi. 
Tentu, kapan? kataku. 
Singkat cerita, kami berjanjian di salah satu warung kopi di daerah Jl. Perintis kemerdekaan, Makassar. Pikirku, hanya rindu dan keinginannya ke kampung halaman yang menjadi alasan dia begitu ingin bertemu denganku. Karna itulah yang dia sampaikan padaku. Iya, Rindu. Hal yang sama yang saya rasakan waktu itu.
Ternyata tidak. Ada hal penting dan tak kuduga yang ingin dia sampaikan padaku. Lebih tepatnya pengumuman. Pengumuman yang membuatku kaget, tak terduga. 
Katanya, dia harus kembali ke tempat yang menurut pengakuannya padaku tak ingin lagi dia datangi dalam waktu dekat. Harus. Dia harus ke sana. Bukan karna tahun ajaran baru yang akan segera dimulai, bukan. Tapi karna dia telah 'diikat' oleh salah seorang pemuda di daerah itu. Sudah ada pra-lamaran katanya. 
Kembali ke pertemuan itu, saya mencoba memberikannya ucapan selamat atas kabar tersebut. Kabar bahagia (yang membuat sedih) atau kabar sedih (yang membuat bahagia) untukku? Entah. Namun dia menolak. Dia tak mau. Air matanya menetes, dia menangis. Membuatku tak tenang. Dari dulu saya tak pernah tenang ketilka melihatnya menangis. saya mencoba menenangkannya. Menghibur, mencoba membuatnya tertawa, bercanda ala kami, mencoba menertawai hal yang lucu menurut kami sejak dulu. Tapi, saya berhasil menyalaminya dengan dalih belum bermaaf-maafan sejak Idul Fitri kemarin.
Di akhir pertemuan, kami tetap bercanda satu sama lain. Sedikit berbicara tentang masa depan, masa depannya dan masa depanku. 
Sampai akhirnya waktu harus memisahkan kami. Sang calonnya ternyata telah ada dalam perjalanan menuju Makassar untuk menjemputnya dan saya juga punya urusan lain yang harus saya kerjakan. 

............................................................
Semalam, saya teringat ucapanmu. "Mampukah mimpi itu tetap hidup kala ia tak lagi berada dalam kotak kaca tanpa debu?"
Mungkin baru saat ini saya mampu menjawabnya. "Mimpi akan selalu jadi mimpi, tak akan pernah menjadi kenyataan. Hal yang diimpikan kemudian terwujud bukanlah mimpi, tapi kenyataan. Tapi mimpi akan tetap hidup bahkan ketika sudah tidak berada dalam kotak kaca tanpa debu. Karna mimpi jauh lebih luas dari sebatas kotak kaca. Bermimpilah dalam mimpimu, bukan dalam realita"
Kemudian kau pernah berkata, "Aku ingin kelak KITA bersatu, terserah Tuhan menyatukan KITA dengan cara apa" . Sepertinya Tuhan telah menyatukan KITA. DALAM KENANGAN.

Pergilah. Agar kau tahu rasanya kembali.
Dan tetaplah berjalan, melihat ke depan.
Biarlah aku di belakangmu, mendukung dan mendoakanmu
Menunggumu tersesat
dan
pulang

Karna ke manapun kau pergi, kau akan tetap pulang


Selamat menempuh hidup baru untukmu. Dariku, si Mata Sayup.